Saturday, December 15, 2007

cerpen

Cerpen

Dosa Itu Indah

Bila sore tiba suasana di masjid itu sangat ramai oleh dua hal. Pertama, banyak anak-anak bermain di sana. Tapi tidak sekedar bermain, karena mereka memakai kopiah dan baju koko untuk yang laki-laki juga jilbab dan baju lengan panjang untuk yang perempuan, serta belajar membaca Alquran dan doa-doa. Jadi lebih baik kita katakan saja mengaji sambil bermain. Maka tidak mengherankan sewaktu pelajaran baca al-Quran dimulai, sebagian dari mereka ngomong sendiri di pojokan meskipun jumlahnya tidak banyak, sebagian lagi lari-larian di luar masjid, sebagian lagi—satu dua tiga orang— tekun membaca buku Iqra. Sang ustadz sudah terbiasa dengan keadaan anak-anak seperti itu. Dia pun membiarkan mereka bermain-main. Menikmati dunia mereka. (Tapi mereka beruntung. Meskipun umumnya masih balita dan berasal dari keluarga sederhana mereka memiliki kesempatan belajar agama, dimana tidak sembarang orang dari kalangan berada ibu kota mendapatkannya.) Kedua, masjid itu menjadi ramai oleh karena banyak para pedagang asongan menangguk untung dengan menjajakan dagangannya di sana. Beberapa pedagang seperti cilok, arum manis, gorengan, es buah, es kemong, dan roti bakar, sering mangkal di teras masjid. Mereka telah menjadi bagian tak terpisahkan dari masjid ini juga anak-anak.

Kalau sudah begitu masjid itu tak ubahnya seperti pasar malam atau pasar kaget. Riuh rendah para pedagang; suara kemong, tak tak tak suara cilok, dan ting ting ting dari arum manis membaur jadi satu dengan alunan suara anak-anak membaca al-Quran. Kadang suara kemong dan lainnya membuat anak-anak terganggu konsentrasinya, dan karena itu hasrat membeli jajanan sering kali muncul.

Sore itu naas sekali bagi penjual arum manis. Tanpa di duga-duga, seorang anak prerempuan, seumuran anaknya datang menghampirinya dengan membawa al-Quran. Bukan untuk membeli arum manis, tapi menginginkan sesuatu yang sulit penjual itu penuhi.

“Bang, ajari Aku baca al-Quran!” kata anak itu sambil membuka lembar al-Qurannya.

Penjual arum manis tertegun. Anak ini mengada –ada saja, kata penjualnya. Mana biasa dia mengajari anak ini membaca al-Quran. Dia kan cuma seorang penjual arum manis. Penjual arum manis mencoba menolaknya, tapi anak itu tidak mau tahu.

“Pokoknya Aku hanya mau diajar ngaji ama abang!” kata anak itu dengan raut muka manja.

“Abang tidak bisa mengajarimu baca al-Quran, nak! Jadi kembalilah ke barisanmu sana. Belajarlah dengan ustadzmu!”

Bukannnya pergi malah anak itu duduk di samping penjual arum manis. Bau keringat mereka segera beradu. Si anak yang wangi dan si abang yang bau apek. Anak itu menyodorkan al-Qurannya ke pangkuan si abang, dan mendesak untuk mengajarinya membaca. Sorot mata anak itu adalah sorot mata masa depan yang haus akan ilmu pengetahuan.

“Bang, ini bacaannya apa?” anak itu langsung menunjuk kepada baris-baris ayat di lembaran al-Quran-nya. Si abang mencoba menutup al-Quran itu dan mengembalikan kepada si anak. Tapi anak itu membukanya kembali dan memaksa si abang mengajarinya.

Anak ini membuatnya jengkel. Kutukan apa lagi sehingga dia ketiban sial seperti ini. Mendapati seorang anak yang ngeyel untuk diajari mengaji. Penjual arum manis itu merasa dirinya kotor. Memberi pelajaran mengaji pada anak itu berarti menularkan kekotoran pada dirinya.

****

Penjual arum manis itu bernama Slamet. Orang yang tahu riwayat hidupnya mungkin akan terkekah mendengar namanya dan mangatakan kasihan dengan nama yang kadung melekat itu. Nama Slamet itu untuk orang-orang yang beruntung, seperti juga nama Bejo, Urip, Sugeng. Nama itu tidak cocok untuk orang-orang seperti penjual arum manis tersebut karena riwayat hidupnya begitu suram, dan bahkan dia sendiri merasa seperti kena kutuk.

Penjual arum manis sering menceritakan perjalanan hidupnya kepada angin. Tapi angin lama-lama tidak kuasa menampung kisah-kisah sedihnya, dan kini angin itu ingin membaginya kepada siapa saja yang ingin mendengar. Berikut kisah penjual arum manis yang dikisahkan angin:

Dahulu, masih dalam hitungan tahun, seorang pemuda bernama Slamet menimba ilmu di pesantren Ngudi Ilmu. Dia berasal dari golongan miskin dan karena itu dia menjadi minder dengan teman-temannya di pesantren. Dia tergolong anak rajin. Datang tepat waktu. Biasa bangun fajar, dan tak lupa membaca al-Quran. Tapi Slamet selalu malang.

“Slamet, Slamet! Malang benar nasibmu!” Kata sang angin sembari meliuk-liuk di dahan dan ranting-ranting pohon sebelum melanjutkan ceritanya.

Slamet memberi tahu kepada angin bahwa suatu ketika dirinya menjadi pelampiasan nafsu seksual para santri lainnya. Kondisi pesantren yang menganut adat laki-laki dan perempuan terpisah membuat para santri kehilangan ladang pemuas napsunya. Akibatnya seperti dalam cerita dari mulut ke mulut; santri suka sesama santri. Hah! Mengherankan sekali. Tempat yang suci, tempat mencari ilmu agama, ternoda oleh ulah para pengikut kaum Nabi Luth. Satu dua hari Slamet diam. Akan tetapi setelah beberapa bulan dia baru sadar bahwa dia telah melakukan dosa besar. Dosa yang azabnya adalah neraka Jahannam. Slamet sadar bagaimana azab itu dulu membinasakan kaum Nabi Luth. Dan dia mulai berpikir kalau-kalau dia akan menerima azab itu di dunia.

“Tapi aku yang jadi objek pelampiasan!” suatu kali Slamet berkata pada angin.

“Itu sama saja. Tidakkah engkau tahu bahwa dosa bisa melekat pada siapa saja?” Jawab angin.

“Mereka itu yang paling berdosa.”

“Dosa tidak mengenal kasta. Berdosa ya berdosa, tidak ada paling dan lebih.” Jawab angin sembari bergoyang di reremputan.

“Lalu apa yang seharusnya aku lakukan.”
”Bertobatlah! Sebelum kamu selesai bertobat kamu tidak berhak menjadi seorang santri.”

“Bagaimana caraku bertobat?”

“Ikuti kata-kataku. Ikutilah kemana aku berhembus, kemana aku berlari.”

Akhirnya Slamet memutuskan keluar dari pesantren, mengikuti saran sang angin. Dia mengembara mengikuti kemana arus angin membawanya. Pertama kali Slamet singgah di tempat para perempuan yang kerap berkumpul pada malam hari. Slamet tahu dia berada di sarang dosa. Slamet berniat melangkah pergi, namun angin tiba-tiba sudah menghadang langkahnya.

“Mau pergi kemana?”

“Aku tidak mau lagi menginjakkan kaki di sini. Ini tempat dosa.”

Angin tertawa terbahak-bahak.

“Di sinilah masjidmu.”
”Ini tempat para setan berdansa, menebarkan hembusan-hembusan laknatnya.”

“He he he! Kamu salah anak muda. Di sinilah para malaikat berzikir. Ingat tidak dulu ada para kyai yang berzikir di sini. Dikelilingi para bidadari ini.”

“Bagaimana caraku bertobat dengan keadaan seperti ini?”

“Menceburlah di sana. Merasuklah bersama mereka!” kata angin seperti sedang bertasbih.

Slamet menuruti perintah angin. Berenang di lautan penuh bidadari malam. Dan aneh. Semakin dalam Slamet mencebur, semakin terasa nikmat mengguyur tubuhnya. Nikmat yang mengelu-elukan segenap naluri kejantanannya. Slamet berpikir inikah bentuk tobat yang dia lakukan. Ini bukan tobat, kata Slamet. Ini surga. Karena tidak ada tobat yang menghadirkan kenikmatan seperti ini. Tiba-tiba Slamet iseng bertanya kepada angin lagi.

“Inikah yang kau maksud bertobat. Ini bukan tobat. Ini ….”

“Kamu banyak omong. Apa kamu kira tobat itu menyakitkan. Itu salah besar anak muda. Tobat itu menyenangkan.”

“Mana bisa. Setahuku orang bertobat seperti zikir dan duduk berlama-lama di dalam suatu tempat.”

“Kamu tidak tahu bahwa sesungguhnya mereka sedang menikmati kesenangan.”

“Mana aku tahu.”

“Mereka itu menikmati kesenangan. Jadi bersenang-senanglah, dengan begitu kamu dalam kondisi bertobat.”

Slamet tidak berani berdebat lagi dengan angin. Dia pun kembali berenang di lautan penuh bidadari. Di sana dia dibelai-belai rambutnya, digosok-gosok punggungnya, dipijit-pijit urat lehernya yang kejang. Sambil dia berkata “bertobat itu nikmat.” Mengikuti kata-kata angin.

Namun waktu yang berjalan cepat mengubah kembali rasa nikmat yang dirasakan Slamet. Perlahan-lahan Slamet mulai bosan. Dia kemudian mengadu kepada angin sekaligus protes karena selama ini dia merasa dibohongi. Tapi angin seperti biasanya tertawa dengan pernyataan-pernyataan Slamet yang lugu.

“Aku tidak mempercayaimu.” Kata Slamet.

“Lantas kamu percaya kepada siapa?”

“Entahlah, tapi aku tidak mempercayaimu.”

“Baiklah, sekarang kamu mau apa?”

“Kembali ke pesantren. Di sanalah aku akan bertobat.”

“Di sana kamu akan mendapatkan luka kembali. Kamu adalah pendosa. sebelum dosamu disucikan kamu diharamkan menginjakkan kaki di sana?”

“Kamu menyesatkanku.”

“Itu pandangan yang salah. Aku membawamu kepada pertobatan yang sesungguhnya.”

Slamet diam. Jalan di depannya seperti buntu. Begitu juga otaknya. Hanya angin. Tapi apakah dia akan mempercayainya kembali. Slamet terus terdiam, hingga angin menyeretnya ke suatu tempat.

“Di sinilah tempatmu bertobat.” Kata angin. Slamet yang mendadak berada di tempat itu tergagap. Dan sungguh dia merasa asing sekali. Dia bertanya-tanya di manakah dia gerangan sekarang?

“Ini duniamu sekarang. Nikmatilah” kata angin. Slamet menengok ke kanan dan ke kiri. Aneka jenis minuman terpajang. Minuman pembangkit gairah. Tempat apalagi ini, kata Slamet. Tapi belum sempat kata itu meluncur lewat mulutnya, angin sudah berkata,

“Ini adalah masjidmu. Di sini kamu bertobat.”

Slamet tidak membantah. Dia mengikuti saran angin. Dia menceburkan dirinya ke dunia itu. Berbagai jenis minuman mengalir mambasahi kerongkongannya. Sembari dia berkata ini adalah masjid tempatku bertobat. Ya, masjid. Masjid. Slamet membiarkan dirinya menjadi ladang masuknya berbagai jenis minuman. Semakin banyak minuman itu mengaliri tenggorokannya dia merasa melayang-melayang seperti di surga. Kali ini dia ingin membenarkan kata-kata angin bahwa tobat itu nikmat. Dia jadi berpikir, kasihan sekali orang-orang yang tidak mau bertobat. Mereka adalah orang yang rugi, karena sesungguhnya tobat itu begitu nikmat. Begitu mengasyikkan.

Setelah menikmati pertobatannya Slamet seperti bebas. Sepertinya dosa-dosa yang melekatinya rontok dan dia sudah kembali suci seperti anak bayi baru keluar dari rahim seorang ibu. Tapi suatu siang itu Slamet ditemukan oleh seorang penjual arum manis telanjang bulat dan tersungkur di got. Untung nasibnya sangat mujur hingga nyawanya dapat diselamatkan. Ketika membuka matanya, dia mendapati tubuhnya berada di tempat penjual arum manis. Yang lebih menyedihkannnya bahwa dia merasakan dosa-dosa itu masih menggelayuti dirinya. Tobatnya ternyata belum diterima. Dia bertanya mana angin, mana angin, tapi dijawab dengan tertawa oleh penjual arum manis.

“Dia tidak ada.”

“Tapi saya harus mencarinya untuk mengajariku cara bertobat.”

Penjual arum manis itu tidak dapat menjawab perkataan Slamet. Maka, dia hanya menyarankan,

“Jadilah penjual arum manis, dengan begitu kamu bisa pergi kemana saja kau kehendaki. Siapa tahu kamu bertemu dengan angin.”

Maka menjadilah penjual arum manis pemuda Slamet itu. Ketika banyak anak-anak bermain-main di masjid dia seperti melihat angin. Di situlah akhirnya dia sering mangkal. Siapa tahu dia melihat angin dan akhirnya dia dapat bertanya kembali padanya.

Namun sungguh malang, angin itu tidak juga muncul. Malah sebagai gantinya seorang anak menghampirinya.dan memintanya mengajarinya membaca Alquan

“Bagaimana kamu tahu aku mampu membaca al-Quran.”

“Seseorang telah memberitahuku.”

“Siapa?”

“Dia tidak mau menyebut namanya?”

“Apakah dia angin?”

“Bukan, dia seorang manusia?”

Dan sepertinya anak itu tidak mau tahu dengan pertanyaan penjual arum manis.

“Ayolah, Bang. Ajari aku membaca al-Quran.”

“Tidak, kamu belajar sama ustadzmu saja.”

“Tapi aku ingin abang yang mengajariku.”

“Tidak!”

Dan penjual arum manis itu tahu sebelum pertobatannya selesai dia tidak boleh menjadi santri.

Anak itu sedih dan segera lari. Penjual arum manis seperti dipersalahkan dengan semua itu. ada yang

Sore berikutnya si penjual arum manis datang ke masjid. Kali ini tujuan utamanya tidak untuk berdagang, tapi menemui si anak. Oleh karenanya dia tidak membawa barang dagangannya seperti biasa. Tekadnya sudah bulat. Dia ingin menyuruh si anak rajin belajar demi masa depan. Dan berdoa semoga anak itu tidak pernah mengalami dosa yang pernah menimpanya. Mungkin si anak tidak akan memahaminya, tapi si penjual arum manis itu yakin bahasa jiwanya dapat ditangkap oleh si anak.

Si penjual arum manis menunggu anak itu di teras masjid di tempat dia biasa berdagang. Tapi anak itu tidak juga muncul. Akhirnya dia bertanya kepada anak lain.

“Di mana anak itu?”

Anak yang ditanya menjawab sambil mengusap ingusnya.

“Di rumah.” Jawabnya polos.

“Kenapa tidak mengaji?” ujar penjual arum manis.

“Dia tidak mau mengaji!”

“Mengaji itu kan penting.”

“Iya, tapi soalnya dia ngerasa tidak ada yang sayang padanya.”

Si penjual arum manis tahu, bahwa ini kesalahannya. Dan itu berarti dosanya semakin bertambah. Kini dia harus segera bertobat. Bertobat. Bertobat…..!

Bogor, 11 April 2007

1 comment:

Unknown said...

Ceritanya cukup bagus. Tapi, pada paragraf 1-4 sepertinya gaya bahasanya lebih cocok untuk pembukaan sebuah essai, jadi agak garing.